Corona nyata atau tidak? Divaksin perlu atau tidak?

Belakangan ini golongan masyarakat terpecah menjadi dua, sama seperti pemilu 2014 lalu. Golongan pertama yakni getol mengedukasi soal virus corona dan pentingnya divaksin. Sementara golongan kedua itu tidak mempercayai adanya virus corona dan tidak mau divaksin. Nah, perkaranya itu memang golongan kedua tidak atau belum terpapar virus corona jadi wajar saja mereka tidak percaya. Selain itu beredarnya berbagai macam berita tentang efek vaksin maupun peristiwa terpapar corona setelah vaksin semakin membuat mereka takut dan akhirnya memutuskan tidak mau divaksin.

Sementara itu, golongan pertama yang getol mengedukasi virus corona dan pentingnya divaksin itu harus menghadapi golongan yang tidak percaya dengan virus corona. Menurut saya pribadi, kalo membaca komentar dari twit dr. Younus Farheem itu memang melelahkan karena sudut pandang masing – masing sudah ibarat kutub positif dan negatif. Kelompok tidak mau divaksin itu menurut saya bukannya tidak percaya dengan adanya corona, tapi mereka takut terpapar virus covid19 ini pasca divaksin. Kalo takut terpapar virus covid19 pasca divaksin berarti kan sebetulnya percaya ya kalo virus ini nyata? Logika sederhana saya sih seperti itu.

Saya dan keluarga sudah divaksin, sementara pegawai saya belum. Sebetulnya dulu sudah ada 2x kesempatan bagi pegawai saya untuk divaksin, namun dia masih takut akhirnya saya biarkan saja. Kalo sudah ada sugesti bahwa setelah divaksin pasti akan kena virus covid ya lebih baik saya tidak lagi mengedukasinya. Dia beranggapan ngapain divaksin kalo tidak membuatnya jadi kebal terhadap virus covid19 ini? sementara bagi saya pribadi, vaksin memang ngga jadi jaminan saya bebas virus covid19 tapi setidaknya kalo kena itu ngga parah – parah amat. Apakah saya kebal setelah divaksin? saya juga ngga ngerti.

Apakah saya lalu jadi marah dan jengkel sama pegawai saya dengan penolakannya untuk divaksin? enggaklah. Saya hanya berharap dia selalu sehat dan terhindar dari paparan virus covid19 itu karena dia menolak untuk divaksin. Banyak hal yang lebih baik kita lakukan, Agusto! daripada berdebat dan membodohkan orang yang tidak mau divaksin apalagi dengan ketakutan mereka itu. Mari berharap golongan yang tidak mau divaksin itu selalu sehat, karena mungkin bisa jadi suatu saat mereka terpapar.

Oiya, vaksin memang tidak menjamin membuat kita mendapatkan baju besi ala ironman untuk melawan virus covid19 ini, tapi minimal kita mendapatkan rompi anti peluru. Itu lebih baik daripada ngga pake rompi anti peluru sama sekali kan?

Kebijakan kantong plastik yang “nanggung”

Gerakan bebas sampah plastik saat ini menjadi gerakan yang “hype”, banyak sekali pendukungnya, apalagi pertokoan dan mall. Contohnya di Alfamart atau Indomaret, saya harus membayar Rp 200,- untuk membeli kantong plastik. Di Matahari department store saya harus membayar Rp 500,- untuk membeli kantong plastik. Tadi saat membeli sepatu di Payless, saya ditawari untuk membayar Rp 500,- apabila ingin menggunakan kantong plastik.

Kalo saya hanya perlu membayar Rp 200,- sampai Rp 500,- hanya untuk menebus kantong plastik, mana mendidik gerakan bebas kantong plastik yang digembor – gemborkan itu? Isu itu akhirnya hanya dipakai untuk menjual kantong plastik, padahal biasanya juga gratis. Kalau memang benar mau mendidik, pilihannya hanya ada dua : hilangkan 100% kantong plastik, atau jual tote bag walau harganya cukup mahal. Jika tidak, maka hanya masyarakat yang jadi korban karena harus membayar kantong plastik yang tadinya gratis.

Untuk masyarakat Indonesia, tidak memberi pilihan sama sekali adalah pilihan terbaik. Contohnya itu implementasi e-money pada gerbang tol. Ketika masyarakat tidak punya pilihan selain menggunakan e-money untuk masuk gerbang tol, pada akhirnya masyarakat akan menggunakan e-money. Apabila alfamart, indomaret, matahari department store, maupun pusat perbelanjaan yang lain tidak menyediakan kantong plastik sama sekali maka masyarakat dengan sendirinya akan sadar untuk membawa tas belanja, keranjang, atau karung.

Apa sih enaknya pake iPhone?

Itu sebetulnya salah satu pertanyaan yang paling susah dijawab..hahaha.. Dulu saya naksir iPhone kala mulai seri 7, namun harganya yang masih selangit saat itu ditambah speknya yang masih biasa mengurungkan niat saya untuk berganti gadget. Sampai akhirnya tahun 2018 ada iPhone XR yang mendukung dual kartu SIM nano, saya paksakan juga untuk berganti ke iPhone XR dan kini menggunakan iPhone 11. iPhone itu memang mahal, tapi harganya juga cepet banget drop untuk barang secondnya. Di tiap peluncuran seri terbaru, maka seri sebelumnya akan turun sebesar 30%. Setahun 30% bray! Ada juga teman yang beli iPhone 7 second tahun 2016 64GB, dia hanya membelinya seharga 3.5jt di tahun 2018 lalu. Itu sih resiko harganya, namun apa sih enaknya pake iPhone? Kalo menurut saya enaknya tu ini..

Continue reading

Apakah agama itu memiskinkan?

Di kaskus, beberapa hari yang lalu ada sebuah thread yang membahas mengenai Gereja yang memiskinkan, yang diangkat dari buku antologi Perzinahan di rumah Tuhan. Rasanya menggelitik, karena membahas mengenai persepuluhan. Saya jujur belum pernah membaca bukunya, jadi saya sangat tidak paham dengan apa yang ditulis dalam buku. Namun, saya ingin berbagai pandangan saya.

Persepuluhan, itu memang tertulis di alkitab. Salah satunya ada di sini. Namun, selama saya menjadi katholik, saya tidak merasa wajib memberikan persepuluhan. Tiap misa di hari Minggu atau hari besar katholik memang ada kolekte, tapi ya serelanya. Kalo di Kristen saya kurang tahu, tapi mungkin sama juga ada kolekte. Di masjid pun sebelum melaksanakan sholat Jumat ada kolekte. Kita hidup di dunia, di mana semua hal memang membutuhkan uang. Hasil kolekte dari umat katholik digunakan untuk membiayai pembangunan gereja, operasional gereja, serta para imam. Di agama lain juga saya rasa sama, semua kolekte / sumbangan pasti digunakan untuk perawatan masjid, kelenteng, operasional harian, dsb. Jadi menurut saya, selama kolekte itu sifatnya sukarela itu masih wajar.

Continue reading