Tanah, antara hak milik dan keinginan orang lain

Beberapa waktu yang lalu tetangga di sebelah toko tiba – tiba memasang pagar sendiri untuk menutupi rumahnya. Saya agak emosi waktu itu karena mereka tidak izin. Namun, saya ingin mengecek terlebih dahulu di sertifikat posisi tanah yang ada karena kalo saya tegur dan ternyata itu bukan tanah saya kan malah jadi berabe.

Pagi tadi saya minta Mawa untuk mengecek sertifikat tanah, dan saya menemukan bahwa pagar itu ternyata masuk ke dalam tanah milik saya. Akhirnya saya datang ke rumah tetangga bermaksud untuk klarifikasi, namun yang keluar ternyata ibu tetangga dan simbahnya. Secara ngga langsung mereka meminta jatah lahan dikarenakan dulu saat jual beli ada kesepakatan tidak langsung bahwa mereka tidak menjual jalan tersebut. Karena saya ngga enak ribut sama ibu – ibu dan orang tua akhirnya saya pulang dan berdiskusi dengan Mawa.

Mawa yang orangnya tegas langsung saya ajak untuk kembali lagi ke sana. Dan kembali anehnya mereka menolak untuk menurunkan pagar, bahkan untuk memindahkan di dekat pintu rumah mereka juga mereka ngga mau padahal saya sudah menunjukkan sertifikatnya. Akhirnya Mawa marah – marah ke mereka sampai si ibu pergi ke belakang karena mungkin takut sambil mengatai kami orang Cina yang ngga baik karena ngga mau memberikan lahan untuk mereka.

Nah, disinilah saya mulai jengkel. Dulu almarhum mertua selaku pemilik tanah sebelumnya pernah berkata bahwa jalan di samping itu pintu untuk keluar masuk, sehingga tetangga mempunyai akses jalan ke luar atau jalan bersama. Kalo saya tutup mata akan kemanusiaan dan membuat pembatas, tetangga saya itu cuma punya jalan selebar 60cm untuk keluar masuk. Apa ya kami masih kurang baik? Ngga mikir nampaknya mereka itu. Mereka tadi curhat kalo anak atau pun saudara yang parkir di area tanah ngga diizinkan, ya ngga akan diizinkan orang tanahnya itu sekarang jadi toko yang saya pakai buat jualan. Saya sendiri ngga pernah nitip parkir nutupin toko orang karena saya sendiri juga ngga suka.

Akhirnya kami pergi aja karena si empunya rumah juga ngehe umpetan, lalu kami pergi ke pak RT dan dari pak RT kami diarahkan ke pak RW. Rupanya pak RW juga sudah mafhum dengan kelakukan tetangga yang katanya pribumi pertama yang ada di daerah itu. Bahkan anaknya lebih ngejago lagi kata pak RW. Anaknya pernah tidak mengizinkan sebuah pabrik yang mau masang panel surya di tanahnya sendiri! Anaknya ini seakan jatah uang untuk mengizinkan pabriknya masang panel surya. Akhirnya pabriknya manggil polisi dan anaknya itu diam tak bersuara.

Saya masih punya hati untuk membagi lahan menjadi milik bersama, tapi kalo sudah dikasih hati masih minta rempela itu buat saya, maaf sudah ngga tau diri. Apalagi tetep ndableg ngga bisa diajak ngomong baik – baik dengan mempertahankan argumen kalo tanahnya ngga dijual sementara saya berpatokan ke sertifikat kalo itu masih lahan saya. Kalo mode halus sudah ngga jalan, ya terpaksa nanti naik ke mode keras.

Stress menulis jurnal

Rasanya baru sekitar 2 mingguan ini saya merasakan rasanya menjadi seorang mahasiswa doktoral seperti rekan – rekan yang selalu residen tiap hari di ruangan. Biasanya ada saja yang harus dikerjakan, mengawal projek, meeting pekerjaan, atau yang lainnya. Selama dua mingguan ini saya bisa intens untuk melaksanakan eksperimen penelitian, dari pagi saya ngoding:membuat dataset, bikin scaling, menjalankan algoritma pembelajaran mesin dan mengevaluasinya.

Saya sebetulnya sudah menulis jurnal dan mengirimkannya hanya saja sampai saat ini masih belum ada pengumuman 😦 dan saya mencoba untuk membuat satu jurnal lagi yang lebih serius. Mungkin karena lebih serius, sudah hampir satu bulan eksperimen baru terlihat hilalnya kemarin. Awalnya saya menggunakan clustering untuk mengidentifikasi e-commerce, namun ketika sudah selesai membuat dataset dan mulai mengimplementasikan beberapa algoritma clustering untuk benchmark saya merasa clustering kok kurang pas untuk memprediksi, akhirnya saya ganti menggunakan classification dan menambah pekerjaan untuk melabeli data.

Continue reading

Galon yang habis

Sudah 1.5 hari sejak galon aqua di kantor habis. Saya berusaha membiarkan, namun ternyata hingga siang tadi tidak ada yang berinisiatif untuk membeli galon isi ulang. Malah masing – masing orang beli air minum sendiri – sendiri 🤦🏼‍♂️ Akhirnya saya berinisiatif untuk membeli air galon yang habis dan memasangnya. Hati kecil saya bertanya – tanya, mungkin ada sesuatu dengan tim di kantor ini. Hal yang kecil terkadang bagi saya bisa menunjukkan banyak hal.

Saya mengerti bahwa hampir setiap orang di kantor ini punya sambilannya sendiri, pun saya di kantor ini statusnya ditugaskan oleh promotor saya untuk membantu di sini. Begitu pula dengan yang lain: ada yang berjualan cilok, baso aci, freelance designer, dsb, selain mereka menjadi karyawan di kantor ini. Bagi saya tidak ada yang salah dengan itu karena saya juga sama. Hanya yang tidak disadari, bahwa kapal (kantor) ini menjadi tempat hidup bagi semua karyawan baik yang punya sambilan maupun ngga.

Bagi saya, pasti memang akan ada satu waktu di mana kapal diterpa dan diguncang oleh ombak yang sangat besar. Namun, selama nahkoda belum memerintahkan semua awak kapal untuk menaiki sekocinya masing – masing seharusnya para awak kapal tetap bertahan di kapal dan ikut berkontribusi untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang muncul di atas kapal.

Kejadian galon habis membuat saya bertanya dalam hati, “apabila gaji mereka telat satu minggu, mungkin mereka akan langsung resign sepertinya“. Galon habis itu masalah kecil, kita tinggal ambil galonnya lalu beli yang baru dan memasangnya kembali. Apabila ngga ada uang, maka bisa minta dulu ke bagian keuangan. Tapi ternyata rekan – rekan malah memilih untuk menyelesaikan masalah hausnya dengan membeli aqua 1.5 liter untuk diri mereka sendiri daripada membeli 1 galon aqua untuk semuanya. Entah masih ada sekat antar personil atau memang mereka hanya menganggap kantor ini sekedar tempat untuk menyambung hidup atau menambah pendapatan.

entahlah.. tapi nampaknya ini sinyal kalo mungkin kami perlu piknik.

Work from Home?

Virus corona sedang melanda Indonesia baru – baru ini, dan akhirnya ditetapkan sebagai bencana nasional. Info terakhir status kebencanaan ini diperpanjang hingga akhir bulan Mei 2020. Dan mendadak, hari Sabtu & Minggu, pemerintah kota Bandung menyarankan untuk meliburkan aktifitas sekolah, fasilitas umum, dan menggantinya menjadi work from home.

Saya sendiri sebagai mahasiswa juga terkena dampaknya. Hari Selasa, 17 Maret 2020, pada pukul 18.00 ITB resmi menutup kampusnya. Semua mahasiswa diarahkan untuk mejalani perkuliahan secara daring. Di Telkom University pun sama, kampus ditutup hingga 29 Maret 2020 dan pembelajaran diarahkan ke bentuk daring dengan memanfaatkan berbagai macam media digital yang dapat digunakan.

PIKKC (Pusat Inovasi Kota dan Komunitas Cerdas), tempat saya bantu – bantu selama menjadi mahasiswa, juga ikutan tutup karena lab kami ada di labtek 8. Akhirnya karyawan dan mahasiswa yang dikaryakan dianjurkan untuk kerja dari rumah selama dua minggu.

Pola kerja work from home ini memberikan tantangan dan cerita tersendiri bagi saya pribadi. Contohnya : saya pagi memberikan task kepada rekan tim, lalu agak siangan saya mengantar Audi les renang, di sana saya masih sempat berkoordinasi untuk proses testing via WA, malam ini saya baru bisa fokus untuk mengecek beberapa kekurangan.

Enaknya sih menurut saya : pola kerja kita menjadi lebih fleksibel dan tidak monoton, capaian diubah dari yang berbentuk proses menjadi hasil akhir. Namun, bisa jadi muncul berbagai banyak distraksi di rumah saat kita bekerja (kalo kita anggap sebagai distraksi juga sih). Misalnya : kemarin saat meeting dengan BNI, saya masih menyetir dan mengantar Mawa untuk berbelanja. Mereka belanja akhirnya saya masih tetap berada di mobil untuk ikut meeting karena lupa ngga bawa earphone.

Pola kerja work from home ini cocok untuk pekerjaan yang sifatnya membutuhkan banyak ide, tidak perlu banyak koordinasi cepat, serta untuk profesional yang mampu memanajemen waktu dengan baik. Apakah saya bisa? well, mari lihat hasilnya selama dua minggu ke depan…

Sekolah lagi

Sebetulnya belum terbersit dalam pemikiran saya setahun kemarin untuk melanjutkan sekolah pada tahun ini. Alasannya sebetulnya klasik : saya belum siap, dan belum masuk giliran untuk sekolah di tahun ini padahal rekan saya seangkatan pada waktu menjadi dosen sudah sekolah di tahun yang lalu. Akhirnya, karena dikomporin oleh sahabat saya, om Purba Daru Kusuma, akhirnya saya membulatkan niat untuk sekolah di Agustus nanti. Satu hal yang agak membebani saya sebetulnya giliran itu, saya diberitahu oleh dosen senior saya bahwa kalo belum masuk giliran ngga boleh sekolah duluan. Om Daru akhirnya mengajak untuk bertemu rektor, dari diskusi dengan rektor beliau berkata pokoknya kalo keterima pasti berangkat, lha yang sudah dijadwalkan aja belum tentu berangkat kalo ngga keterima.

Dari modal perkataan beliau akhirnya saya langsung mengejar waktu untuk mencari promotor dan topik penelitian. Saya ingat waktu itu saya hanya punya waktu sekitar 2 mingguan untuk melakukan pendaftaran. Tapi ya mungkin semuanya memang sudah jalannya, sebelumnya saya dan om Daru membuat dua buah proposal rencana bisnis. Beliau membuat rencana bisnis di bidang pendidikan dan saya di bidang logistik. Akhirnya saya gunakan ide yang muncul di rencana bisnis sebagai ide untuk penelitian. Satu poin terselesaikan, yakni ide penelitian. Selanjutnya mencari promotor yang sesuai dengan bidangnya. Ada beberapa kandidat promotor yakni Prof. Armein, Prof. Suhono, dan pak Rinaldi Munir. Prof. Armein Langi sayangnya masih belum bisa membimbing karena masih menjadi rektor di Universitas Kristen Maranatha. Saya mencoba mengontak pak Rinaldi Munir, namun ternyata topik penelitian saya itu ngga selaras dengan kompetensi beliau sehingga beliau menolak. Masih ada satu nama terakhir yang menjadi pilihan saya, yakni Prof. Suhono Harso Supangkat. Kalo dengar cerita dari teman-teman, katanya susah kalo mau menemui pak Suhono karena orangnya sangat sibuk sehingga lulusnya lama, tapi proyeknya banyak juga 😀 Continue reading